Tuesday, May 17, 2011

Pilihan Energi untuk Bali

Untuk mengejar pesatnya laju perkembangan perekonomian dan industri pariwisata (hotel, villa, etc.), mau tidak mau pengadaan pembangkit listrik di Bali harus mulai dipikirkan. Selain untuk bisa independen secara energi dan mengurangi beban pembangkit listrik di Jawa, pembangunan pembangkit listrik di Bali juga akan menghasilkan suplai listrik yang lebih stabil karena berkurangnya jarak hantaran yang harus ditempuh.

Dalam posting sebelumnya telah dibahas pilihan-pilihan pembangkit listrik untuk Bali yang belakangan ini banyak dibahas kembali di media, yakni geothermal dan batubara. Di tulisan kali ini akan dibahas juga opsi-opsi lain untuk memenuhi kebutuhan energi di Bali, termasuk kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Jenis-jenis pembangkit listrik yang akan dibahas adalah yang sudah umum digunakan di dunia, dan akan dikategorikan menjadi dua kelompok: pembangkit bakar dan non-bakar.

Kelompok Pembangkit Bakar
Yang dimaksud dengan kelompok ini adalah semua jenis pembangkit yang menggunakan bahan yang dibakar untuk menghasilkan energi panas yang kemudian dikonversikan menjadi energi listrik. Kelompok ini hanya akan dibahas secara singkat karena secara prinsipnya semunya mirip.

Pembangkit jenis ini membutuhkan bahan bakar, umunya berupa bahan bakar fosil (diesel/solar, bensin, gas alam, batubara, termasuk biofuel). Proses pembakaran tersebut yang kemudian digunakan untuk menggerakkan pembangkit baik secara langsung seperti mesin genset (combustion engine) atau secara tidak langsung dengan memanaskan media (air, etc) yang dapat berubah bentuk menjadi uap yang mendorong turbin seperti pada pembangkit bertenaga batubara.
Kelompok ini merupakan yang termurah dari segi investasi dan teknologi karena telah banyak digunakan, namun dari segi operasional sangat fluktuatif tergantung harga BBM dunia. Dari segi "harga" lingkungan dan wawasan berkelanjutan, kelompok bakar ini sangat "mahal" dan merusak. Kelompok ini merupakan penyumbang terbesar efek pemanasan global yang kita alami saat ini.
Walaupun semuanya menggunakan prinsip yang mirip dan melibatkan proses pembakaran, efek buruk polusi dan limbahnya beragam, tergantung dari jenis bahan bakar yang digunakan:

  • Batubara adalah jenis bahan bakar yang paling "kotor", mulai dari proses penambangannya yang cenderung merusak, hingga ke polusi udara, residu, dan limbah yang dihasilkan. Proses pembangkitan listriknya juga cenderung yang paling tidak effisien, hanya sekitar 33-35% panas yang dihasilkan dari pembakarannya akan dikonversikan menjadi energi listrik, sisanya akan terbuang percuma.
  • Minyak dan Gas Bumi termasuk diesel/solar, bensin dan gas bumi memiliki efek samping yang sedikit lebih ramah daripada batubara, walaupun masih merupakan penghasil polusi dan gas rumah kaca. Proses penambangan minyak bumi dan gas juga cenderung lebih "sopan" dibandingkan dengan penambangan batubara. Apabila harus memilih diantara kelompok "pembangkit bakar", pilihan terbaik adalah menggunakan bahan bakar gas alam. Paling tidak polusi yang dihasilkan adalah yang paling rendah diantara teman-teman sekelompoknya dan tingkat effisiensi mesinnya juga cenderung baik.
  • Biofuel sering disebut sebagai energi terbarukan, dalam artian selalu dapat ditanam, dipanen, kemudian diolah menjadi bahan bakar. Namun belakangan ini banyak ahli yang berpendapat bahwa bio-fuel tidak bisa dikatakan energi berkelanjutan (sustainable) karena tetap menghasilkan polusi akibat proses penggunaannya yang memerlukan pembakaran, serta pembuatannya dalam skala besar yang akan berarti pembukaan lahan perhutanan, serta pengembangan dengan cara monokultur yang dipercaya tidak baik untuk ekosistem maupun kesuburan tanah.



Kelompok Pembangkit Non-bakar
Negara-negara maju sudah cukup lama memulai pengembangan kearah pembangkitan listrik dengan sumber energi alternatif. Kebanyakan pembangkit energi berkelanjutan (sustainable) dan terbarukan (renewable) akan masuk dalam kelompok ini.
Sebagian besar kelompok ini juga merupakan turunan dari energi surya langsung ataupun tidak (siklus air, gelombang, angin, etc.)

  • Nuklir dianggap sebagai energi berkelanjutan oleh sebaian ahli karena jumlah bahan radioaktif yang diperlukan sangat sedikit untuk membangkitkan energi listrik yang cukup banyak. Dari sisi bahan bakarpun bisa dikatakan cukup murah dan effisien. Sayangnya pembangkit nuklir membutuhkan teknologi yang sangat tinggi dan investasi yang cukup mahal. Disamping itu nuklir juga kurang cocok untuk digunakan di kawasan rawan gempa seperti Bali. Lagipula, setelah bencana nuklir di Jepang awal tahun ini, sepertinya akan sangat susah untuk mencari pendukung baik dari segi investor maupun masyarakat.
  • Energi Surya bersumber pada matarari yang memberikan sinar dan panas secara cuma-cuma. Sampai saat ini tenaga surya masih cukup mahal karena memerlukan proses pembuatan panel surya yang cukup mutakhir. Proses pembangkitan listriknya hanya terjadi pada siang hari, sehingga agak sulit jika hanya mengandalkan tenaga ini. Untuk skala kecil seperti pulau-pulau kecil, PLTS sudah mulai dikembangkan oleh PLN dengan menggunakan batterai penyimpanan untuk dapat dimanfaatkan dimalam hari ataupun bantuan genset diesel. Untuk memenuhi kebutuhan listrik pulau Bali, akan dibutuhkan daerah yang sangat luas jika dibandingkan dengan pembangkit listrik konvensional ataupun geothermal.
  • Energi Turunan dari Surya yaitu energi angin, air, gelombang, pasang-surut, dan sebagainya. Semuanya bersumber pada proses alam yang terjadi sebagai akibat dari energi matahari maupun pengaruh gravitasinya. Meskipun proses konversinya untuk menjadi listrik berbeda, namun mereka memiliki kesamaan yang kurang tepat untuk diaplikasikan di Bali: mereka membutuhkan sumber dengan kuantitas dan konstan. Di Bali terdapat beberapa sungai yang cukup layak untuk dikembangkan menjadi pembangkit mikro-hidro, tapi masih jauh dari cukup untuk dapat memerdekakan Bali dari pembangkit di Jawa. Tenaga angin, ombak, pasang-surut juga tidak ada yang mencukupi di Bali, baik dari segi besarnya maupun kestabilannya.
  • Geothermal adalah energi panas yang berasal dari inti bumi bisa dikatakan sebagai energi terbarukan (renewable) karena masih akan sangat lama sebelum panas itu habis. Pembangkit geothermal 200MW yang beroperasi selam 30 tahun akan setara dengan menghemat 93 miliar barel minyak bumi. Tingginya investasi diawal pembangunan (dalam bentuk dana dan areal hutan yang mungkin akan dibuka) akan terbayar dengan pasokan energi listrik yang bersih, efisien, murah, dan stabil untuk waktu yang lama sehingga dapat dinikmati oleh generasi-generasi mendatang. Teknologi dan "kebersihan" dari geothermal ini telah teruji di banyak lokasi di Indonesia dan di seluruh dunia. 

Tabel diatas memperlihatkan perbandingan polusi dan limbah yang dihasilkan dari 
beberapa tipe pembangkit untuk kapasitas 175MW  (dalam ribu ton per tahun)




Kesimpulan
Jika kapasitasnya memadai, geothermal adalah pilihan terbaik untuk Bali dan juga untuk mencegah percepatan pemanasan global. Nilai jual pembangkit geothermal juga sangat tinggi sebagai promosi pariwisata yang ditenagai dengan energi terbarukan dan berkelanjutan. Kekurangannya adalah investasi yang besar diawal pembangunan dan murahnya harga jual listrik di Indonesia sehingga mempersulit untuk memancing investor untuk terjun ke bidang ini. Untungnya pemerintah pusat telah membuat pernyataan akan mendukung pembangunan geothermal di Indonesia, yang juga didukung oleh pemerintah Amerika Serikat. Selain itu, pihak pemerintah daerah Bali juga telah menyatakan misi untuk menjadi provinsi "hijau" pertama di Indonesia. 


Thursday, May 5, 2011

Harga sesungguhnya dari pembangkit listrik tenaga batubara

Diterjemahkan dari: "Scary numbers about Coal-fired power plants"

Belakangan ini ada wacana untuk membangun pembangkit listrik 200MW berbahan bakar batubara di Bali. Terlepas dari sudut pandang investor, politis, ataupun kebutuhan PLN, apakah ini benar-benar merupakan pilihan terbaik untuk Bali? untuk masyarakat, untuk industri pariwisata Bali, dan untuk lingkungan Bali dan Global, dan untuk generasi mendatang?
Harga investasi untuk pembangunan dan operasional tenaga batubara saat ini memang termurah, tapi itu jika kita hanya melihat pada uang yang dikeluarkan langsung untuk pembangkitan tersebut. Bagaimana dengan harga sesungguhnya yang harus ditanggung oleh masyarakat Bali dan Dunia, serta generasi mendatang? Lingkungan, kesehatan, pariwisata, apakah layak untuk diresikokan?

Berikut ini adalah beberapa "angka-angka" yang menakutkan dari pembangkit listrik berbahan bakar batubara, dirangkum dari beberapa artikel di situs "Union of Concerned Scientists" (www.ucsusa.org).

catatan: estimasi dalam website sumber adalah untuk pembangkit listrik batubara 500MW dengan teknologi tipikal yang ada saat ini. Dalam tulisan ini semua estimasi tersebut dibagi dengan faktor 2,5 untuk mendapatkan estimasi pembangkit kapasitas 200MW agar sesuai dengan yang direncanakan di Bali.


Polusi Udara
Pembakaran batubara adalah sumber utama dari smog, hujan asam, global warming, dan zat berbahaya di udara. Setiap tahunnya, pembangkit 200MW bertenaga batubara pada umumnya akan menghasilkan rata-rata:

·         1,480,000 ton karbon dioxida (CO2), hasil aktifitas manusia yang paling berpengaruh pada global warming - jumlah CO2 yang sama seperti yang dihasilkan dari menebang  64 juta pohon setiap tahunnya!!!.
·         4,000 ton sulfur dioxida (SO2), sumber dari hujan asam yang merusak hutan, danau, dan bangunan. SO2 di udara juga sebagai partikel mikro yang dapat masuk ke paru-paru dan merugikan kesehatan.
·         200 ton berbagai macam partikel mikro di udara yang dapat menyebabkan bronkhitis kronis, asma, kematian prematur, dan kabut debu yang mengganggu pandangan.
·         4,080 ton nitrogen oxida (NOx), sama banyaknya seperti yang dikeluarkan 200.000 mobil. NOx menghasilkan smog yang dapat menyebabkan rasa perih hingga pembengkakan di paru-paru, sehingga cenderung menderita penyakit-penyakit saluran pernafasan.
·         288 ton karbon monoxida (CO), dapat menyebabkan pusing dan mual, serta menambah resiko orang yang memiliki kecenderungan penyakit jantung.
·         88 ton berbagai jenis hidrocarbon dan volatile organic compounds (VOC), yang membentuk ozone.
·         30 kg mercury (airraksa), sebagai gambaran: 1/2 sendok teh airraksa yang dicampur ke danau seluas 350 hektar sudah dapat membuat ikan-ikan didanau tersebut tidak layak untuk dikonsumsi.
·         40 kg arsenic (arsen), racun yang digunakan untuk membunuh Munir aktifis HAM. Konsumsi air yang mengandung 50 ppb (parts per billion) dapat menyebabkan kanker pada manusia.
·         20 kg timbal (Pb), 2 kg cadmium, logam berat berbahaya lainnya, dan sedikit (sejumlah jumlah jejejak) uranium.

Limbah
Limbah Padat
Limbah yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tipikal 200MW bertenaga batubata  termasuk lebih dari 50,000 ton abu dan 77,000 ton lumpur setiap tahun dari pembersihan cerobong. Pada umumnya lebih dari 75% limbah padat ini dibuang tanpa peraturan ataupun pengewasan di lokasi landfill, atau pembuangan permukaan.
Bahan-bahan berbahaya yang terkandung di limbah tersebut - termasuk arsenic, mercury, chromium, and cadmium - dapat mencemari air tanah dan jika diminum dapat merusak organ penting tubuh  dan sistem syaraf manusia. Selain itu juga akan ada perusakan ekosistem di lokasi pembuangan limbah tersebut.
Pembuangan air pendingin
3.3 juta meter kubik air biasanya digunakan pertahun untuk prosos pendinginan pembangkit bertenaga batubara dengan kapasitas 200MW. Setelah selesai digunakan biasanya air tersebut dikembalikan ke sungai, danau, atau laut. Suhu air yang lebih tinggi dari asalnya ini dapat mengganggu ekosistem. Pada umumnya, pembangkit juga akan menambahkan klorin atau bahan kimia berbahaya lainnya untuk mencegah tumbuhnya alga didalam pemipaannya. Bahan-bahan kimia berbahaya ini juga ikut terbuang ke lingkungan.
Limbah panas
Sebagian besar panas yang dihasilkan dari pembakaran batubara terbuang percuma. Pada umumnya hanya 33-35% panas yang dihasilkan akan dapat dikonversikan menjadi tenaga listrik. Sisa panas yang lain akan terlepaskan ke atmosfer dan diserap oleh air pendingin.

Pengaruh pada air
Pembangkit listrik 200MW bertenaga batubara yang tipikal, menggunakan 3,3 juta meter kubik air setiap tahunnya yang diambil dari sungai, danau, ataupun laut, untuk dipanaskan dan menghasilkan uap yang akan menggerakkan turbin. Jumlah yang sama dapat digunakan untuk kebutuhan air bersih 100.000 orang.
Ketika air tersebut diambil, sekitar 8,4 juta telur ikan, larva dan ikan kecil juga dapat terhisap, dan sekitar 600.000 ikan dewasa juga dapat terjebak di struktur panghisapnya. Sebagian besar ikan-ikan tersebut akan cacat ataupun mati.

Proses pengadaan batubara
Penambangan batubara
Sebagian besar batubara ditambang dengan metode "stripping" yang mengeruk permukaan bumi. Penambangan permukaan ini sangat merusak tatanan permukaan tanah dan ekosistem yang berkembang diatasnya.
Transportasi batubara
Untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar ini, batubara harus didatangkan dari lokasi-lokasi penambangannya (untuk Bali terdapat wacana batubaranya akan   didatangkan dari Australia). Proses transportasi ini juga membutuhkan bahan bakar yang juga akan menghasilkan polusi dan emisi karbonnya sendiri.
Penyimpanan batubara
Penyimpanan batubara di lokasi pembangkit maupun sebelum tiba dilokasi pada umumnya ditimbun berupa gundukan besar di areal terbuka. Debu yang tertiup dari gundukan tersebut dapat mengiritasi paru-paru, dan mengotori lingkungan dan perumahan disekitarnya. Hujan yang menyirami gundukan akan mengalir dengan membawa polutan dan mengkontaminasi tanah dan air.
  
-------------------------------------------------------------------------------------------
Bila para pemimpin Bali disajikan dengan fakta-fakta tersebut diatas, apakah mereka masih akan meneruskan rencana pembangkit bertenaga batubara?


Say NO to Coal-powered Plant in Bali!!

========================================================
Dirangkum dari beberapa artikel di situs "Union of Concerned Scientists" (www.ucsusa.org).

catatan: estimasi dalam website sumber adalah untuk pembangkit listrik batubara 500MW dengan teknologi tipikal yang ada saat ini. Dalam tulisan ini semua estimasi tersebut dibagi dengan faktor 2,5 untuk mendapatkan estimasi pembangkit kapasitas 200MW agar sesuai dengan yang direncanakan di Bali.

Antara Geothermal & Batubara untuk Bali

Laju pembangunan di Bali saat ini jauh lebih cepat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dari segi ekonomi ini berarti peningkatan pesat, namun dari segi lingkungan ini berarti ancaman yang meninggi. Untuk mencapai perkembangan yang berkelanjutan, agar anak cucu kita dapat tetap menikmati hidup di bumi Bali tercinta ini dengan kemakmuran dan kesehatan lingkungan, kita harus sangat sangat hati-hati dan bijaksana dalam menentukan arah pembangunan ini. Perkembangan dan pembangunan tidak bisa kita hentikan, maka mau tidak mau kita juga harus melihat opsi-opsi yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan energi yang dibutuhkan untuk perkembangan tersebut.

Opsi paling sederhana, murah, dan seharusnya diwajibkan adalah dengan melakukan penghematan energi. Ini berlaku untuk semua kalangan, mulai dari hotel-hotel besar dan industry, hingga ke rumah-rumah. Dan semuanya diawali dari diri sendiri. Langkah pertama untuk ini adalah dengan belajar mengenai energi itu sendiri. Selama kita masih buta akan energi kita tidak akan dapat menggunakannya dengan effisien dan hemat.
Setelah opsi tersebut, barulah kita boleh menengok ke opsi berikutnya yaitu penambahan kapasitas pembangkit listrik. Dalam opsi ini sendiri ada beberapa pilihan yang bisa diambil, contohnya untuk Bali saat ini wacana yang sedang berkembang adalah antara pembangkit listrik tenaga batubara, atau tenaga geothermal. Untuk dapat memilih dengan bijak, tentunya kita harus mengetahui kelebihan dan kekurangan dari masing-masing pilhan tersebut.

Pembangkit dengan sumber energi batubara akan jauh lebih mudah ditempatkan karena bahan bakarnya dapat didatangkan dari dan ke mana saja, daerah pesisir yang dapat disinggahi kapal tongkang pengangkut batubara akan menjadi pilihan utama. Energi geothermal membutuhkan lokasi khusus dimana terdapat panas bumi yang cukup dekat dengan permukaan sehingga lebih mudah untuk dimanfaatkan, biasanya didaerah pegunungan yang memiliki sejarah geologi sebagai daerah volkanik. Sayangnya, karena subur, daerah ideal untuk energi geothermal ini sebagian besar merupakan daerah berhutan lebat yang cenderung dijadikan taman nasional atau hutan lindung.

Investasi untuk pembangkit dari batubara juga relatif lebih murah dibandingkan geothermal. Baik dari sisi lahan yang akan digunakan, maupun pembangunan pembangkitnya sendiri. Belum lagi biaya explorasi awal untuk geothermal sebelum dapat dinyatakan layak untuk dijadikan pembangkit, mulai dari survey tinjau hingga pengeboran sumur explorasi yang dapat mencapai puluhan juta dolar. Dari sisi resiko investasi geothermal juga kalah jauh dengan batubara yang bisa dikatakan tinggal mengimport mesin saja, sedangkan untuk geothermal semua biaya explorasi yang sudah ditanam bisa hangus begitu saja jika ternyata hasilnya dinyatakan tidak cukup untuk pembangkitan listrik.

Namun jika dilihat dari segi operasionalnya, pembangkit dengan batubara akan selalu membutuhkan batubara yang didatangkan dari tambang-tambang baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Selain harga batubara yang dapat naik mengikuti pasar, pembelian itu juga akan mengucurkan dana keluar Bali. Sedangkan energi geothermal sumbernya ada di Bali sendiri, dan sebagai energi yang berkesinambungan (sustainable) bisa dikatakan sumber energi tersebut dapat dimanfaatkan secara “gratis” dalam waktu yang sangat lama.
Terakhir jika kita membandingkan dari segi “harga lingkungan” yang harus dibayarkan, pembangkit geothermal akan jauh lebih “murah”. Pembukaan lahan hutan lindung untuk jalan dan area pembangkit hanya akan terjadi sekali, dan itu dapat “dibayarkan” kembali dengan rehabilitasi. Ancaman sekunder seperti pemanfaatan jalan secara ilegal oleh pencuri kayu ataupun pembangunan tanpa ijin juga sangat mudah diantisipasi dengan mengadakan portal-portal keamanan dan pengawasan rutin. Pembuangan terbesar dari pembangkit geothermal adalah uap air yang tidak berbahaya bagi manusia maupun lingkungan.

Sedangkan pembangkit batubara akan menyebabkan polusi udara dengan partikel-partikel kecil seperti abu dan material padat lainnya serta gas-gas yang dapat merugikan kesehatan manusia dan lingkungan. Penurunan kualitas udara bukan hanya akan terjadi di sekitar pembangkit bertenaga batubara itu, tapi sampai radius puluhan bahkan ratusan kilometer akan merasakan dampaknya, terutama saat arah angin mengantarkan partikel-partikel halus tersebut. Bahkan lingkungan global juga akan terkena dampaknya melalui gas karbondioksida dihasilkan dari proses pembakaran batubata yang merupakan salah satu gas rumah kaca yang paling banyak menyumbang ke perunbahan iklim global. Ini tentunya sangat bertentangan dengan rencana pengurangan gas rumah kaca seperti yang disepakati di pertemuan PBB lalu, maupun dengan rencana pemda untuk menjadikan Bali sebagai provinsi hijau pertama di Indonesia.

Dari sisi maketing pariwisata juga geothermal akan jauh lebih membantu menarik wisatawan untuk datang berlibur ke Bali yang dialiri listrik dari sumber energi berkelanjutan dan “hijau” dibandingkan batubara yang terkenal kotor. Belum lagi jika kita pikirkan lebih jauh ke sumber dari batubara tersebut yang banyak ditambang dengan metode stipping yang sangat merusak lingkungan, dan pengirimannya sendiri hingga ke lokasi pembangkit yang membutuhkan energi dan menghasilkan karbondioksida juga.

Jika telah membandingkan seluruh aspek dari pembangkitan listrik dengan kedua pilihan tersebut, saya akan meletakan pilihan pertama saya pada geothermal. Dan bila pilihan geothermal benar-benar tidak dapat diambil, maka saya menyarankan untuk mengkaji pilihan bahan bakar lain seperti gas bumi yang penambangan maupun polusinya jauh lebih ramah lingkungan jika dibandingkan dengan batubara.