Thursday, May 5, 2011

Antara Geothermal & Batubara untuk Bali

Laju pembangunan di Bali saat ini jauh lebih cepat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dari segi ekonomi ini berarti peningkatan pesat, namun dari segi lingkungan ini berarti ancaman yang meninggi. Untuk mencapai perkembangan yang berkelanjutan, agar anak cucu kita dapat tetap menikmati hidup di bumi Bali tercinta ini dengan kemakmuran dan kesehatan lingkungan, kita harus sangat sangat hati-hati dan bijaksana dalam menentukan arah pembangunan ini. Perkembangan dan pembangunan tidak bisa kita hentikan, maka mau tidak mau kita juga harus melihat opsi-opsi yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan energi yang dibutuhkan untuk perkembangan tersebut.

Opsi paling sederhana, murah, dan seharusnya diwajibkan adalah dengan melakukan penghematan energi. Ini berlaku untuk semua kalangan, mulai dari hotel-hotel besar dan industry, hingga ke rumah-rumah. Dan semuanya diawali dari diri sendiri. Langkah pertama untuk ini adalah dengan belajar mengenai energi itu sendiri. Selama kita masih buta akan energi kita tidak akan dapat menggunakannya dengan effisien dan hemat.
Setelah opsi tersebut, barulah kita boleh menengok ke opsi berikutnya yaitu penambahan kapasitas pembangkit listrik. Dalam opsi ini sendiri ada beberapa pilihan yang bisa diambil, contohnya untuk Bali saat ini wacana yang sedang berkembang adalah antara pembangkit listrik tenaga batubara, atau tenaga geothermal. Untuk dapat memilih dengan bijak, tentunya kita harus mengetahui kelebihan dan kekurangan dari masing-masing pilhan tersebut.

Pembangkit dengan sumber energi batubara akan jauh lebih mudah ditempatkan karena bahan bakarnya dapat didatangkan dari dan ke mana saja, daerah pesisir yang dapat disinggahi kapal tongkang pengangkut batubara akan menjadi pilihan utama. Energi geothermal membutuhkan lokasi khusus dimana terdapat panas bumi yang cukup dekat dengan permukaan sehingga lebih mudah untuk dimanfaatkan, biasanya didaerah pegunungan yang memiliki sejarah geologi sebagai daerah volkanik. Sayangnya, karena subur, daerah ideal untuk energi geothermal ini sebagian besar merupakan daerah berhutan lebat yang cenderung dijadikan taman nasional atau hutan lindung.

Investasi untuk pembangkit dari batubara juga relatif lebih murah dibandingkan geothermal. Baik dari sisi lahan yang akan digunakan, maupun pembangunan pembangkitnya sendiri. Belum lagi biaya explorasi awal untuk geothermal sebelum dapat dinyatakan layak untuk dijadikan pembangkit, mulai dari survey tinjau hingga pengeboran sumur explorasi yang dapat mencapai puluhan juta dolar. Dari sisi resiko investasi geothermal juga kalah jauh dengan batubara yang bisa dikatakan tinggal mengimport mesin saja, sedangkan untuk geothermal semua biaya explorasi yang sudah ditanam bisa hangus begitu saja jika ternyata hasilnya dinyatakan tidak cukup untuk pembangkitan listrik.

Namun jika dilihat dari segi operasionalnya, pembangkit dengan batubara akan selalu membutuhkan batubara yang didatangkan dari tambang-tambang baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Selain harga batubara yang dapat naik mengikuti pasar, pembelian itu juga akan mengucurkan dana keluar Bali. Sedangkan energi geothermal sumbernya ada di Bali sendiri, dan sebagai energi yang berkesinambungan (sustainable) bisa dikatakan sumber energi tersebut dapat dimanfaatkan secara “gratis” dalam waktu yang sangat lama.
Terakhir jika kita membandingkan dari segi “harga lingkungan” yang harus dibayarkan, pembangkit geothermal akan jauh lebih “murah”. Pembukaan lahan hutan lindung untuk jalan dan area pembangkit hanya akan terjadi sekali, dan itu dapat “dibayarkan” kembali dengan rehabilitasi. Ancaman sekunder seperti pemanfaatan jalan secara ilegal oleh pencuri kayu ataupun pembangunan tanpa ijin juga sangat mudah diantisipasi dengan mengadakan portal-portal keamanan dan pengawasan rutin. Pembuangan terbesar dari pembangkit geothermal adalah uap air yang tidak berbahaya bagi manusia maupun lingkungan.

Sedangkan pembangkit batubara akan menyebabkan polusi udara dengan partikel-partikel kecil seperti abu dan material padat lainnya serta gas-gas yang dapat merugikan kesehatan manusia dan lingkungan. Penurunan kualitas udara bukan hanya akan terjadi di sekitar pembangkit bertenaga batubara itu, tapi sampai radius puluhan bahkan ratusan kilometer akan merasakan dampaknya, terutama saat arah angin mengantarkan partikel-partikel halus tersebut. Bahkan lingkungan global juga akan terkena dampaknya melalui gas karbondioksida dihasilkan dari proses pembakaran batubata yang merupakan salah satu gas rumah kaca yang paling banyak menyumbang ke perunbahan iklim global. Ini tentunya sangat bertentangan dengan rencana pengurangan gas rumah kaca seperti yang disepakati di pertemuan PBB lalu, maupun dengan rencana pemda untuk menjadikan Bali sebagai provinsi hijau pertama di Indonesia.

Dari sisi maketing pariwisata juga geothermal akan jauh lebih membantu menarik wisatawan untuk datang berlibur ke Bali yang dialiri listrik dari sumber energi berkelanjutan dan “hijau” dibandingkan batubara yang terkenal kotor. Belum lagi jika kita pikirkan lebih jauh ke sumber dari batubara tersebut yang banyak ditambang dengan metode stipping yang sangat merusak lingkungan, dan pengirimannya sendiri hingga ke lokasi pembangkit yang membutuhkan energi dan menghasilkan karbondioksida juga.

Jika telah membandingkan seluruh aspek dari pembangkitan listrik dengan kedua pilihan tersebut, saya akan meletakan pilihan pertama saya pada geothermal. Dan bila pilihan geothermal benar-benar tidak dapat diambil, maka saya menyarankan untuk mengkaji pilihan bahan bakar lain seperti gas bumi yang penambangan maupun polusinya jauh lebih ramah lingkungan jika dibandingkan dengan batubara.

No comments:

Post a Comment