Friday, March 9, 2012

Ancient Sunlight, Burnivore, and Oil Companies

Manusia saat ini addicted dengan bakar-bakaran untuk memenuhi kebutuhan energinya hingga sudah berubah jenis dari Omnivore menjadi Burnivore. Sudah saatnya kita melangkah lebih jauh untuk memanfaatkan energi yang lebih bersih untuk masa depan. Lantas bagaimana nasib Oil Companies yang sudah sekian banyaknya invest di explorasi dan penggalian migas?

------------------------------------------------------------------------------

Para pemuja matahari (bukan dalam arti agama atau kepercayaan) mengatakan bahwa fosil fuel adalah "ancient sunlight", yaitu energi matahari yang diolah di Bumi (flora-fauna), yang kemudian tertimbun dan perlahan menjadi bahan bakar fosil. Batubara dan Migas ini seperti baterai (energi storage) yang menyimpan energi matahari masa lampau.


Dapat dibayangkan betapa tidak effisiennya proses tersebut, dari begitu besarnya energi matahari yang sampai di Bumi, hanya sebagian kecil sekali yang dapat diolah dengan fotosintesa, dan dari itu hanya sebagian kecil yang tertimbun dengan kriteria yang tepat, dan dari yang tertimbun itu juga sebagian kecil saja yang mendapatkan kondisi (P-T) yang tepat untuk mencapai maturasi, dan seterusnya sepanjang perjalanan energi itu hingga menjadi bahan bakar minyak atau batubara sebagai bentuk dari energy storagenya. Kemudian untuk mengubah mereka menjadi bentuk energi yang dapat digunakan seperti pembangkit listrik atau kendaraan bermotor juga akan terpotong effisiensinya.
Ada yang memberikan estimasi kasar untuk seluruh proses mengubah energy ancient sunlight menjadi listrik hari ini memiliki prosentase effisiensi sekitar 
0.0000000000001%, atau lebih rendah!

Orang-orang solar-power-minded  tersebut mengatakan alangkah baiknya jika kita memotong jalur yang sangat rumit, panjang (ratusan juta tahun..) dan highly inefficient  itu dan langsung mengubah energi surya menjadi energi listrik yang kita butuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
Rata-rata solar cell yang sudah dijual komersil memiliki efisiensi diatas 10% dan ini sudah jauh lebih efisien dibandingkan "ancient sunlight" yang tersimpan di fosil fuel.
Rata-rata fotosintesis hanya dapat mengubah 2% dari energi surya, belum lagi menghitung energy-losses selama prosesnya untuk menjadi fosil fuel.

------------------------------------------------------------------------------

Satu organisasi yang sangat informatif bernama Kajul "Energy Guru" (http://www.kajul.org/),  membagi energi dari asal muasalnya:
 - Solar Radiation derived (solar, wind, hydro, bio, all fosil fuels) 
 - non solar radiation derived (nuclear & geothermal) 

Di website tersebut mereka memberikan istilah baru: burnivore.
Setelah vegetasi, herbivore, carnivore, dan omnivore, muncul jenis baru: burnivore.
<quote>
Burnivore: Same as Omnivores; with the difference that the burnivore uses 10 up to 1 million times more energy than its own body is able to use. The Burnivore accesses an energy flow through a process of burning all kinds of Chemical Energy (Wood, Coal, Oil, Gas) to release Heat Energy and sometimes a tiny bit of Light. Heat is used to cook food to make it easier to digest; and to expand air or gas to create kinetic energy to propel a bike, car, truck, boat, airplane or rocket forward to transport either itself or goods which it thinks are needed to improve its quality of life. <unquote>

Dan karena pengetahuan bakar-membakarnya sudah tingkat tinggi dan "addicted to burning things" (dan juga investasi yang sudah ditanam di budaya membakar tersebut sudah sangat banyak), sering kali mereka memilih alternatif dari fosil fuel yang malah kurang tepat, maunya tetap mencari bahan lain yang bisa dibakar, seperti bio-fuel contohnya yang tidak mengurangi pembakaran malah justru menambah masalah dengan membuka lahan baru dan persaingan dengan bahan pangan.

------------------------------------------------------------------------------

Jadi, apa ini saatnya oil&gas companies gulung tikar?  
Jawabannya "TIDAK!"
Masih banyak sekali kebutuhan manusia akan oil n gas.
Pertama, pengalihan sumber energi (if ever happens) masih akan membutuhkan masa transisi yang cukup lama (bayangkan untuk menunggu sekian banyaknya mobil bensin perlahan-lahan habis tergantikan dengan mobil listrik). 
Kemudian bahkan Setelah semua teralihkan ke energi lainpun minyakbumi masih akan tetap dibutuhkan di dunia: secara terbatas sebagai bahan bakar pada keperluan khusus, dan secara tak terbatas (limitless) pada industri petrochemical untuk membuat berbagai macam senyawa penting seperti plastik, polycarbon, parafin, aspal, lilin, dst  yang sangat penting untuk kehidupan manusia modern seperti peralatan, kendaraan, pelapis jalan, kosmetik, dst..dst.. (look it up in google: "Oil is too Valuable to Burn" )


Salam,
WHY

Friday, February 17, 2012

Pembangunan Hotel di Badung (Kuta, dsk) - Updated - Mengerikan!!

Update dan revisi peta yang sebelumnya sudah pernah saya posting..
Laju pembangunan hotel-2 baru bukan melambat atau stagnan, tapi malah makin meningkat!!!

MENGERIKAN!!!

Akhir 2011 kemarin club malam dan bungy jumping 66 (baca: Double Six) di Legian Kaja / Seminyak di bongkar rata dengan tanah, dan rencananya akan dibangun hotel besar dipinggir pantai -Let's hope it's not very disturbing for the eyes-, ternyata nomor IMBnya adalah 1188/thn2011.
Artinya di Badung saja, tahun 2011 kemarin ada paling tidak 1188 (seribu seratus delapan puluh delapan) IMB yang di keluarkan oleh Bupati Badung.. WOW!!! MENGERIKAN!!!



Any comments are very welcome..

Monday, November 28, 2011

Pembangunan Hotel-hotel di Legian-Kuta yang Terlalu Pesat

Kemarin saya mengcompile sebuah peta, dengan lokasi-lokasi pembangunan hotel-hotel besar di daerah Legian - Kuta. Warna merah mewakili yang sedang dibangun saat ini (November 2011), dan yang oranye adalah yang baru-baru ini selesai dibangun (~2-3 tahunan).

Mohon bantuannya untuk masukan tambahan lokasi ataupun mengkoreksi yaa...


Walaupun datanya sangat tidak akurat dan hanya estimasi dari ukuran hotel yang tampak dari jalan, etc.., dan saya yakin ada beberapa yang salah, dari peta itu cukup terlihat betapa banyaknya hotel yang sedang dibangun atau baru saja selesai dibangun. Pantesan aja di jalanan penuh dengan truk-truk besar yang lalu lalang (beberpa malah ugal-ugalan).

List pertanyaan saya:
  • berapa dari hotel-hotel itu yang membangun dengan konsep eco-friendly? instalasi efisien energi?  
  • berapa bagian dari hotel-hotel itu yang akan mendukung perkembangan ekonomi masyarakat Bali? 
  • berapa yang memang milik orang bali (walaupun cuma sebagian sahamnya)?
  • berapa yang hanya akan jadi tontonan bagi warga bali, atau paling-paling hanya sebagian yang "menikmati" berkuli disitu?
comments?

------------------------------------------------------------------------------------------------
note: satelite imagery used belongs to Google Maps. all their rights must be honoured.

Sunday, November 20, 2011

Artikel lainnya, yang cukup sinis akan pembangkit geothermal untuk Bali, bahkan mengesankan adanya konspirasi besar dan seolah-olah ada upaya licik untuk meng-gol-kan geothemal di Bali.

http://www.balebengong.net/kabar-anyar/2010/10/11/misteri-geothermal-bedugul-jilid-2.html/comment-page-1#comment-12901

<1 paragraph removed due to reader's request.>

<added:>
Pendapat saya masih sama seperti sebelumnya untuk para penolak pembangkit geothermal, cobalah memperlebar pandangan, jangan hanya melihat geothermal akan membuka (sedikit) lahan hutan lindung (hanya untuk akses jalan dan sedikit lagi untuk instalasi) dan kemudian menolaknya mentah-mentah.
Bali jelas-jelas membutuhkan lebih banyak energi listrik, apalagi dengan laju perkembangan yang seperti tidak kenal rem ini.

Atau ada solusi lainnya ?
Menurut saya, untuk di Bali dan untuk saat ini, tidak ada pilihan yang lebih baik. Dinilai dari segi "environmental cost", geothermal ini adalah pilihan yang paling "murah" karena paling sedikit merusak alam.
Pilihan pembangkit-pembangkit lainnya antara tidak memungkinkantidak memadai, atau memiliki konsekuensi lingkungan yang (JAUH) lebih parah dibandingkan pembukan sedikit lahan hutan untuk geothermal:

  • PLTU atau genset berbahanbakar disel/batubara - polusi udara, tanah, air, dan pemanasan global (belum lagi resiko kerusakan lingkungan yg terusmenerus di lokasi penambangan/pengeborannya selama bahanbakar tersebut dibutuhkan).
  • Pembangkit berbahan bakar gas bumi: jauh lebih "ramah lingkungan" dibandingkan sepupunya si diesel dan batubara, namun tetap saja: teknologi pembakaran = polusi udara = menambah global warming. Ditambah lagi pasokan gasbumi di Indonesia yang terbatas (terikat kontrak jual keluar negeri, jadi akan susah mengalihkan untuk ke dalam negeri, apalagi kalau mau kasi ide bikin pembangkit tenaga gasbumi)
  • nuklir - tidak cocok, indonesia rawan gempa
  • PLTA, di Bali tidak ada potensi yang cukup besar.
  • tenaga surya - investasi masih sangat mahal, apalagi untuk mencapai ukuran ratusan MW (yg dibutuhkan di Bali)
  • tenaga angin - di Bali dan sekitranya tidak terdapar lokasi yang memiliki angin yang stabil (lihat kasus di Nusa Penida: pembangkit hybrid angin, surya, dan diesel - akhirnya hanya genset diesel yang selalu hidup)
  • arus/ombak - belum terbukti dalam skala besar, masih perlu investasi dan penelitian lagi
  • mikrohydro - skala terlalu kecil
  • dst
Okelah, geothermal perlu membuka sedikit lahan hutan lindung, tapi bayangkan energi yang ramah lingkungan yang dapat dihasilkan selama puluhan hingga ratusan tahun kemudian?? gas lepasan dari pembangkit geothermal: hampir seluruhnya uap air! terkadang ada dalam jumlah jejak (traces) H2S (bau belerang) dan beberapa polutan lain, tapi semuanya jauh dibawah ambang batas kesehatan dan lingkungan! Sebagai pecinta alam dan pemerhati lingkungan yang mengerti, saya pasti akan pilih yang ini!

    Geothermal di Indonesia memiliki kesulitan yang sama seperti geothermal dimanapun di dunia: lokasinya yang cenderung selalu di pegunungan yang hampir selalu (dan HARUS) dilindungi. Pro dengan geothermal bukan berarti setuju hutan dirusak semena-mena. Tapi geothermal harus dijalankan dengan tetap memperhatikan lingkungan, pembukaan lahan harus benar-benar hanya jika diperlukan. Jika sudah tidak digunakan, lahan wajib direboisasi, dst.. dst..

    Namun khusus di Indonesia, kesulitannya bertambah-tambah akibat beberapa hal: PLN menjual listrik dengan harga subsidi, artinya PLN juga tidak dapat membeli listrik dari pihak ketiga (dalam hal ini investor geothermal) dengan harga normal, dan dibawah harga pasaran dunia. Jadi mau-tidak-mau investor yang hendak mengembangkan geothermal di Indonesia juga harus hitung-hitung dengan baik, karena tidak jarang ROInya sampai puluhan tahun.
    Kamudian ditambah lagi efek kurangnya pengetahuan mengenai geothermal plus dicampur efek buruk dari kasus lingkungan lainnya terhadap image geothermal ini, seperti contohnya kasus Lapindo di Sidoarjo yang membuat beberapa desa menjadi kubangan lumpur. Begitu orang-orang mengetahui ada rencana pengeboran geothermal, mereka langsung protes "kami tidak mau terendam lumpur!!"
    Padahal tipe batuan yang dibor sangat berbeda antara pengeboran minyak bumi (seperti Lapindo di Sidoarjo = batuan sedimenter) dengan batuan di lokasi geothermal (batuan beku yang tidak ada resiko lumpur seperti LuSi).

    Oleh karena itu saya memutuskan untuk membuat blog ini, mudah-mudahan bisa membantu membuka wawasan masyarakat luas, dan pemerhati, LSM, pengambil keputusan dan sebagainya agar dapat mengambil keputusan dengan berwawasan kesinambungan.

    Salam lingkungan,
    Wayan H. Y.

    * list pembangkit diatas tentu masih jauh dari lengkap, namun dua yang paling atas sudah mewakili pembangkit yang tidak berkesinambungan (non renewable - non sustainable), nuklir mewakili pembangkit yang non renewable but sustainable, dan sisanya mewakili kelompok "renewables".
    Artikel yang sangat menarik oleh P. Raja Siregar:

    Lengkap, komprehensif, dan tidak bepihak.

    Di bagian akhirnya dijelaskan tujuan penulisan artikel tersebut:
    Kasus ini ditulis oleh P.Radja Siregar, peneliti lepas, di bawah bimbingan Ahmad D.Habir,Ph.D, Dekan Fakultas Manajemen-Swiss German University, sebagai bagian dari program Promoting Leadership for Integrated Development yang didukung oleh Ford Foundation Indonesia. Semua materi yang terkandung di dalam artikel ini dipersiapkan semata-mata hanya untuk tujuan pembelajaran. Kasus ini tidak dimaksudkan atau dirancang sebagai gambaran yang menunjukkan sebuah praktek yang benar atau salah.

    Hak Cipta © 2007 dimiliki oleh Yayasan Pembangunan Berkelanjutan

    Wednesday, November 16, 2011

    Alasan Penolakan PLTP Geothermal di Bedugul, dan komentar saya.

    Baru aja dapat link blog tentang geothermal di Indonesia, ternyata sangat menarik.
    Salah satu artikelnya adalah mengenai penolakan Pembangkit Geothermal di Bedugul, Bali:
    http://geothermalstudentstudy.wordpress.com/sejarah-panasbumi-di-indonesia/pltp-bedugul/
    (kalau males buka link-nya, dibawah akan saya copy-paste lagi tulisannya)

    Anyways, di artikel itu saya buat komen, yang ternyata panjang banget, jadi sekalian aja dibuat jadi postingan disini.. :)
    Intinya masih sama aja dengan artikel-artikel lain di blog ini.. jadi mungkin rada bosen juga ya? mudah-mudahan ngga.. :D

    begini komen saya di artikel itu:
    ------------------------------------------------------------

    Mantab nih tulisannya...

    Komen saya begini:
    mengenai perijinan, itu hanya masalah nego antara pusat, provinsi dan kabupaten. yg bikin pusing adalah karena euforia otonomi daerah yang bikin masing2 daerah merasa harus mendapat keuntungan sebesar2nya dan tidak lagi memikirkan secara lebih luas atau global.. kalau geothermal di Bali bisa berjalan, bali mungkin tidak akan perlu pembangkit listrik berbahan bakar batubara yang saat ini sedang dikaji.
    Bagi orang yang mengerti, pasti akan memilih geothermal dibandingkan batubara (pembangkit dengan polusi paling parah!!). Masalahnya bagi yang awam akan berpikir pembangkit tenaga batubaranya ditaruh saja di pesisir yang gersang, tidak mengganggu hutan dan masyarakat.. Padahal polusinya (terutama udara) tidak hanya akan mengganggu disekitar pembangkit itu saja, tapi seluruh Bali akan "menikmati" abu, asap, dan semua polutannya (CO2, SO2, NOx, CO, dst..dst..).
    DAN, jika berpikir lebih besar lagi: pembangkit tenaga batubara itu akan menyumbang ke pemanasan global.
    Tentunya ini sangat bertentangan dengan rencana Pemda Bali yang punya cita-cita menjadi provinsi "hijau" pertama di Indonesia.

    Kemudian mengenai kesakralan dan kesucian, ini isu yang lebih sensitif dan harus dibahas dengan lebih hati-hati.
    Di tulisan diatas dikatakan bahwa Dewa Wisnu sebagai pemberi kemakmuran umat manusia. Sangat setuju sekali! Gunung (Dewa Wisnu) memang adalah pemberi kemakmuran, selain siklus air, mata air, tanah yang subur, dan kemakmuran lainnya yang selama ini sudah biasa diolah dan dinikmati manusia, ada juga tenaga panas bumi yang dapat membantu manusia untuk menjadi lebih makmur.
    Hanya karena pemanfaatan panas bumi ini belum banyak dimengerti, maka akan terlihat sangat mengerikan ketika peralatan berat masuk dan membuat lubang bor ribuan meter (apalagi ditambah dengan memori ttg kasus lapindo di Sidoarjo).
    Tapi kasarnya begini, kalau tenaga panas bumi ini tidak boleh diberdayakan, maka logikanya kesuburan tanah dan sumber air juga tidak boleh diberdayakan donk?

    Lanjut lagi mengenai kepercayaan dan kesucian, Bagi warga Hindu Bali, ada konsep yang dinamakan Tri Hita Karana yaitu keseimbangan antara Tuhan, Manusia, dan bumi (lingkungan). Dan saat ini Bali sudah tidak seimbang, paling tidak diantara manusia dan bumi (lingkungan). buktinya begini, kebutuhan listrik perlu di"import" dari pembangkit di Jawa. Kemudian jika jadi membangun pembangkit bertenaga batubara, maka keseimbangan ini akan bertambah timpang. Mungkin kebutuhan listrik akan memadai, tapi polusi udara yang dihasilkan akan sangat mengganggu lingkungan dan bukan hanya disekitar lokasi pembangkit tapi se-Pulau Bali, bahkan secara global akan terpengaruh. Belum lagi jika menghitung kerusakan lingkungan yang diperlukan untuk menambang batubara, dan transportasinya ke lokasi pembangkit.

    Layaknya jika orang akan mengambil keputusan, seharusnya ia akan menimbang untung-rugi dari masing-masing pilihan yang tersedia. Bagi saya, sependek pengetahuan saya mengenai hal ini, saya akan jauh memilih geothermal daripada batubara. Alasannya simple: geothermal perlu merusak sedikit hutan lindung, tapi kemudian akan mendapatkan "energi bersih" selama berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin ratusan. Sedangkan batubara meskipun lahan pembangkit bisa di pesisir gersang, tapi selama pembangkit tersebut berproduksi, dia juga akan menghasilkan polusi yang sangat buruk bagi lingkungan. Belum lagi jika dihitung keekonomiannya dimana pembangkit batubara akan selalu memerlukan suply bahan bakar yang akan mengeluarkan uang keluar negeri (katanya direncanakan untuk membeli dari australia).

    Wah, jadinya panjang juga nih.. hehe.. sori yah..
    Tulisan ini saya co-pas ke blog saja deh...
    oh iya, mohon ijin untuk memasang link blog anda di tulisan saya yaaa..

    Cheers,
    Wayan Heru




    ------------------------------------------------------------
    ini tulisan copy-paste dari link diatas:
    ================================================================

    PLTP BEDUGUL

    ini ada info dari Bung Desti Ganius ( trims Brur)
    INFO nehh!!! alasan penolakn keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP Geothermal) di Bedugul, Bali.
    1. Proyek berada di kawasan Cagar Alam (CA) Watukaru sehingga mengancam keberadaan hutan lindung yang sudah sangat minim di Pulau Bali.
    2. Segi Potensi Dampak Lingkungan dan sosio-kultural AMDAL yang dilakukan menunjukkan ada empat dampak lingkungan dan kultural yang tidak dapat dikelola yaitu: Amblesan tanah (subsidence), Penurunan potensi air danau, air tanah dan mata air akibat penggundulan hutan, diperkirakan bisa mencapai tiga meter per tahun, Erosi keanekaragaman hayati, terutama cemara pandak yang merupakan spesies endemik di wilayah ini.
    3. Segi Tinjauan Hukum
    a. Bahwa PLTP Bedugul tidak memenuhi prosedur perijinan, adapun ijin yang telah dimiliki adalah Ijin Direktur Jendral Inventaririsasi dan Tata Guna Hutan no 892/A/VII-4/1996 tanggal 30 September 1996 tentang Ijin ekplorasi seluas 42,52 hektar di wilayah Kab. Tabanan dan Buleleng.
    b. Menurut Undang-undang RI Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi pada Bab VIII tentang Perizinan PAsal 21 menyebutkan ijin usaha pertambangan panas bumi dikeluarkan oleh Mentri dan persetujuan Gubernur apabila usaha tersebut lintas Kabupaten.
    c. Mengacu kepada berbagai ijin di atas, maka jelaslah bahwa ijin yang dimiliki hanyalah untuk eksplorasi. Mengacu pada istilah aslinya, eskplorasi merupakan suatu bentuk pengujian terhadap suatu kawasan untuk keperluan diagnosis dan atau untuk keperluan ilmiah. Kegiatan eksplorasi adalah berupa pengambilan contoh/sample tanpa merusak habitat dan ekosistem yang ada. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ijin eksplorasi telah disalahgunakan dengan dibukanya jalan lebar ke dalam kawasan hutan, pembabatan hutan untuk uji coba dan pengeboran sumur pembangkit.
    4. Segi Agama Hindu : a. Kawasan Bedugul dan sekitarnya, yaitu mulai Desa Wanagiri disebelah utara sampai di Desa Baturiti disebela selatan, kemudian dari Desa Wongaya Gede (Batukaru) disebelah barat samapi Desa Plaga disebelah timur, sejak zaman dahulu diyakini sebagai kawasan suci dan sakral, terlihat dari prasasti-prasasti kuno antara lain Markandeya Tattwa, Dalem Tamblingan, dan Babad Panji Sakti. Oleh karena itu di kawasan ini berdiri Pura-pura yang sangat disakralkan oleh penduduk Bali. b. Gunung, dalam keyakinan Agama hindu dan khususnya dalam tradisi beragama Hindu di Bali adalah stana Hyang widhi dalam manifestasi sebagai Dewa Wisnu, yang memberikan kemakmuran umat manusia. Gunung juga dipandang sebagai “Hulu” dalam konteks “Hulu Teben” yaitu pengaturan wilayah strategis mistis. Oleh karena itu gunung harus dijaga kesucian dan kelestariannya, termasuk hutan, danau dan habitat yang ada didalamnya, sehingga keberadaan PLTP Geothermal menurut Bhisama PHDI Tahun 1994 tentang Kawasan Suci, Kawasan yang Disucikan dan tempat-tempat suci sangat jelas sekali sudah melanggar.
    Berdasarkan alasan di atas, masyarakat bali merekomendasikan agar Proyek PLTP Bedugul dibatalkan: * Dengan mencabut semua perijinan berkaitan dengan proyek PLTP, termasuk Keppres NO. 15/2002 perihal Pencabutan Keppres No. 39/1997. * Melakukan rehabilitasi dan mengembalikan fungsi hutan di CA Batukaru, termasuk membayar kompensasi atas kerugian ekonomi dan lingkungan yang sudah terjadi, bila ada. * Melakukan audit energi disertai Rencana induk energi dengan mempertimbangkan segala alternatif yang ada. * Menghentikan intimidasi bahwa Bali tidak akan dapat energi dan mengehentikan upaya nyata untuk menurunkan pasok listrik. Ini adalah soal keadilan dari pemerintah pusat. Bali menyumbangkan pendapatan yang tinggi pada pusat, di antaranya Rp.450 miliar dari Bandara Ngurah Rai, Rp.6 miliar dari parkir, belum lagi dari Visa on Arrival, dengan tidak mengurangi pasokan listrik bagi Bali. Perlu dicatat bahwa kondisi Bali yang baik mendorong pariwisata di seluruh Indonesia yang artinya menyumbangkan pada devisa negara. * Menerapkan prinsip kehati-hatian dalam setiap pembangunan di Bali mengingat situasi ekologis dan keunikan kultur di pulau ini. Prinsip kehati-hatian adalah: ketiadaan bukti ilmiah tidak boleh digunakan menunda mengambil langkah pencegahan kerusakan lingkungan apabila ada tanda-tanda bahwa suatu proyek mempunyai potensi dampak lingkungan. Perlu diperhatikan bahwa masyarakat bali sepakat bahwa pembangkit tenaga listrik geothermal mungkin saja lebih ramah lingkungan, namun tidak untuk ditempatkan di kawasan CA Watukaru yang dianggap sakral oleh orang Bali dan merupakan paru-paru pelindung air di pulau Dewata ini.

    Tuesday, May 17, 2011

    Pilihan Energi untuk Bali

    Untuk mengejar pesatnya laju perkembangan perekonomian dan industri pariwisata (hotel, villa, etc.), mau tidak mau pengadaan pembangkit listrik di Bali harus mulai dipikirkan. Selain untuk bisa independen secara energi dan mengurangi beban pembangkit listrik di Jawa, pembangunan pembangkit listrik di Bali juga akan menghasilkan suplai listrik yang lebih stabil karena berkurangnya jarak hantaran yang harus ditempuh.

    Dalam posting sebelumnya telah dibahas pilihan-pilihan pembangkit listrik untuk Bali yang belakangan ini banyak dibahas kembali di media, yakni geothermal dan batubara. Di tulisan kali ini akan dibahas juga opsi-opsi lain untuk memenuhi kebutuhan energi di Bali, termasuk kelebihan dan kekurangan masing-masing.

    Jenis-jenis pembangkit listrik yang akan dibahas adalah yang sudah umum digunakan di dunia, dan akan dikategorikan menjadi dua kelompok: pembangkit bakar dan non-bakar.

    Kelompok Pembangkit Bakar
    Yang dimaksud dengan kelompok ini adalah semua jenis pembangkit yang menggunakan bahan yang dibakar untuk menghasilkan energi panas yang kemudian dikonversikan menjadi energi listrik. Kelompok ini hanya akan dibahas secara singkat karena secara prinsipnya semunya mirip.

    Pembangkit jenis ini membutuhkan bahan bakar, umunya berupa bahan bakar fosil (diesel/solar, bensin, gas alam, batubara, termasuk biofuel). Proses pembakaran tersebut yang kemudian digunakan untuk menggerakkan pembangkit baik secara langsung seperti mesin genset (combustion engine) atau secara tidak langsung dengan memanaskan media (air, etc) yang dapat berubah bentuk menjadi uap yang mendorong turbin seperti pada pembangkit bertenaga batubara.
    Kelompok ini merupakan yang termurah dari segi investasi dan teknologi karena telah banyak digunakan, namun dari segi operasional sangat fluktuatif tergantung harga BBM dunia. Dari segi "harga" lingkungan dan wawasan berkelanjutan, kelompok bakar ini sangat "mahal" dan merusak. Kelompok ini merupakan penyumbang terbesar efek pemanasan global yang kita alami saat ini.
    Walaupun semuanya menggunakan prinsip yang mirip dan melibatkan proses pembakaran, efek buruk polusi dan limbahnya beragam, tergantung dari jenis bahan bakar yang digunakan:

    • Batubara adalah jenis bahan bakar yang paling "kotor", mulai dari proses penambangannya yang cenderung merusak, hingga ke polusi udara, residu, dan limbah yang dihasilkan. Proses pembangkitan listriknya juga cenderung yang paling tidak effisien, hanya sekitar 33-35% panas yang dihasilkan dari pembakarannya akan dikonversikan menjadi energi listrik, sisanya akan terbuang percuma.
    • Minyak dan Gas Bumi termasuk diesel/solar, bensin dan gas bumi memiliki efek samping yang sedikit lebih ramah daripada batubara, walaupun masih merupakan penghasil polusi dan gas rumah kaca. Proses penambangan minyak bumi dan gas juga cenderung lebih "sopan" dibandingkan dengan penambangan batubara. Apabila harus memilih diantara kelompok "pembangkit bakar", pilihan terbaik adalah menggunakan bahan bakar gas alam. Paling tidak polusi yang dihasilkan adalah yang paling rendah diantara teman-teman sekelompoknya dan tingkat effisiensi mesinnya juga cenderung baik.
    • Biofuel sering disebut sebagai energi terbarukan, dalam artian selalu dapat ditanam, dipanen, kemudian diolah menjadi bahan bakar. Namun belakangan ini banyak ahli yang berpendapat bahwa bio-fuel tidak bisa dikatakan energi berkelanjutan (sustainable) karena tetap menghasilkan polusi akibat proses penggunaannya yang memerlukan pembakaran, serta pembuatannya dalam skala besar yang akan berarti pembukaan lahan perhutanan, serta pengembangan dengan cara monokultur yang dipercaya tidak baik untuk ekosistem maupun kesuburan tanah.



    Kelompok Pembangkit Non-bakar
    Negara-negara maju sudah cukup lama memulai pengembangan kearah pembangkitan listrik dengan sumber energi alternatif. Kebanyakan pembangkit energi berkelanjutan (sustainable) dan terbarukan (renewable) akan masuk dalam kelompok ini.
    Sebagian besar kelompok ini juga merupakan turunan dari energi surya langsung ataupun tidak (siklus air, gelombang, angin, etc.)

    • Nuklir dianggap sebagai energi berkelanjutan oleh sebaian ahli karena jumlah bahan radioaktif yang diperlukan sangat sedikit untuk membangkitkan energi listrik yang cukup banyak. Dari sisi bahan bakarpun bisa dikatakan cukup murah dan effisien. Sayangnya pembangkit nuklir membutuhkan teknologi yang sangat tinggi dan investasi yang cukup mahal. Disamping itu nuklir juga kurang cocok untuk digunakan di kawasan rawan gempa seperti Bali. Lagipula, setelah bencana nuklir di Jepang awal tahun ini, sepertinya akan sangat susah untuk mencari pendukung baik dari segi investor maupun masyarakat.
    • Energi Surya bersumber pada matarari yang memberikan sinar dan panas secara cuma-cuma. Sampai saat ini tenaga surya masih cukup mahal karena memerlukan proses pembuatan panel surya yang cukup mutakhir. Proses pembangkitan listriknya hanya terjadi pada siang hari, sehingga agak sulit jika hanya mengandalkan tenaga ini. Untuk skala kecil seperti pulau-pulau kecil, PLTS sudah mulai dikembangkan oleh PLN dengan menggunakan batterai penyimpanan untuk dapat dimanfaatkan dimalam hari ataupun bantuan genset diesel. Untuk memenuhi kebutuhan listrik pulau Bali, akan dibutuhkan daerah yang sangat luas jika dibandingkan dengan pembangkit listrik konvensional ataupun geothermal.
    • Energi Turunan dari Surya yaitu energi angin, air, gelombang, pasang-surut, dan sebagainya. Semuanya bersumber pada proses alam yang terjadi sebagai akibat dari energi matahari maupun pengaruh gravitasinya. Meskipun proses konversinya untuk menjadi listrik berbeda, namun mereka memiliki kesamaan yang kurang tepat untuk diaplikasikan di Bali: mereka membutuhkan sumber dengan kuantitas dan konstan. Di Bali terdapat beberapa sungai yang cukup layak untuk dikembangkan menjadi pembangkit mikro-hidro, tapi masih jauh dari cukup untuk dapat memerdekakan Bali dari pembangkit di Jawa. Tenaga angin, ombak, pasang-surut juga tidak ada yang mencukupi di Bali, baik dari segi besarnya maupun kestabilannya.
    • Geothermal adalah energi panas yang berasal dari inti bumi bisa dikatakan sebagai energi terbarukan (renewable) karena masih akan sangat lama sebelum panas itu habis. Pembangkit geothermal 200MW yang beroperasi selam 30 tahun akan setara dengan menghemat 93 miliar barel minyak bumi. Tingginya investasi diawal pembangunan (dalam bentuk dana dan areal hutan yang mungkin akan dibuka) akan terbayar dengan pasokan energi listrik yang bersih, efisien, murah, dan stabil untuk waktu yang lama sehingga dapat dinikmati oleh generasi-generasi mendatang. Teknologi dan "kebersihan" dari geothermal ini telah teruji di banyak lokasi di Indonesia dan di seluruh dunia. 

    Tabel diatas memperlihatkan perbandingan polusi dan limbah yang dihasilkan dari 
    beberapa tipe pembangkit untuk kapasitas 175MW  (dalam ribu ton per tahun)




    Kesimpulan
    Jika kapasitasnya memadai, geothermal adalah pilihan terbaik untuk Bali dan juga untuk mencegah percepatan pemanasan global. Nilai jual pembangkit geothermal juga sangat tinggi sebagai promosi pariwisata yang ditenagai dengan energi terbarukan dan berkelanjutan. Kekurangannya adalah investasi yang besar diawal pembangunan dan murahnya harga jual listrik di Indonesia sehingga mempersulit untuk memancing investor untuk terjun ke bidang ini. Untungnya pemerintah pusat telah membuat pernyataan akan mendukung pembangunan geothermal di Indonesia, yang juga didukung oleh pemerintah Amerika Serikat. Selain itu, pihak pemerintah daerah Bali juga telah menyatakan misi untuk menjadi provinsi "hijau" pertama di Indonesia.